Minggu, 18 Maret 2012

PUASA DAN KEMERDEKAAN DEMOKRASI YANG HAKIKI (Refleksi Kemerdekaan RI dalam Tinjauan Islam)

A.    Esensi Puasa
Secara etimologi puasa berasal dari bahasa Arab yaitu “Shiyam” ( صيا م  ) dan “Shaum”  (  صو م ), kedua-duanya adalah bentuk Mashdar  yang arti menurut bahasanya ialah “menahan” dan menurut terminologi atau syara’ ialah menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa dengan niat tertentu pada seluruh (tiap-tiap) hari yang dapat dibuat berpuasa oleh orang Islam, berakal sehat, suci dari haid dan nifas. Puasa secara substansi adalah menahan sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT atau yang membatalkannya dengan melakukan niat tertentu terlebih dahulu dengan tiap-tiap hari yang dibolehkan berpuasa bagi seorang muslim.
Mengenai esensi puasa Ramadhan, secara etimologi Ramadhan berarti pembakaran. Secara terminologi puasa Ramadhan adalah puasa yang dilakukan pada bulan Ramadhan, hukumnya wajib dan merupakan salah satu rukun Islam. Kewajiban puasa pada bulan Ramadhan ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut:

           
   
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah: 183)

Secara substansif ayat di atas mengandung perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk melaksanakan ibadah puasa dengan destinasi akhir “final destination”  yaitu adanya ketakwaan. Dengan ketakwaan inilah yang menjadikan seorang mukmin mengalami perubahan dalam setiap lini kehidupannya, baik secara hablumminallah maupun hablumminannas.

B.    Kemerdekaan Demokrasi yang  Hakiki
Sudah genap 66 tahun usia bangsa dan Negara NKRI  ini merdeka, setiap tahunnya yang kita rayakan pada hari ini tanggal 17 Agustus 2011  dengan khidmat dan dengan cara selebrasi atau dengan cara yang lain. Akan tetapi belum ada perubahan yang berarti dan signifikan dalam segala dimensi yang ada terutama dimensi politik.
Secara historis, kemerdekaan 1945 yang direbut dari para penjajah merupakan perjuangan yang sangat panjang. Bahkan proses menuju proklamasi pun terjadi peristiwa yang bernama “Peristiwa Rengasdengklok“. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh perbedaan keinginan kaum muda dengan keinginan kaum tua dalam waktu penentuan proklamasi kemerdekaan RI. Ketika itu kaum muda mengadakan rapat pada malam hari tanggal 15 Agustus 1945 di ruang laboratorium Mikrobiologi di Pegengasan Timur. Rapat yang dipimpin oleh Chairul Shaleh  mendesak agar Soekarno-Hatta memutuskan ikatannya dengan Jepang dan mengadakan Permusywaratan dengan para pemuda.
Setelah itu kaum muda mengutus Darwis dan Wikana diutus menemui Soekarno-Hatta untuk menyatakan keinginan golongan kaum muda. Akan tetapi Soekarno-Hatta tidak meyetujui keinginan itu, sehingga timbul suasana tegang. Kaum muda tetap mendesak agar kemerdekaan segera diproklamasikan pada tanggal 16 Agustus 1945. Kemudian kaum muda mengadakan rapat kedua dini hari tanggal 16 Agustus 1945 di Asrama Baperpi, jalan Cikini 71, memutuskan akan mengajak Soekarno-Hatta keluar kota untuk dijauhkan dari pengaruh Jepang. Singkat cerita, terjadilah sebuah rumusan untuk membuat teks proklamasi yang lahir atas adanya musyawarah antara Soekarno-Hatta, PPKI dan golongan muda. Teks proklamasi itu  ditandatangani oleh Soekarno-Hatta.
Ada tiga zaman yang dialami oleh bangsa dan Negara ini yaitu, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Pada masa Orde Lama dalam bidang politik, Presiden Soekarno melaksanakan sebuah demokrasi yang disebut “Demokrasi Terpimpin”. Dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang dikenal dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang dinyatakan sebagai manifesto politik RI, MPRS ditetapkan menjadi GBHN. Pada masa Orde Baru, negara ini dipimpin oleh Presiden Soeharto. Setelah runtuhnya Orde Lama Presiden Soeharto melakukan perbaikan khususnya dalam pembangunan yang disebut dengan program PELITA I,II,III,IV,V,VI dan VII. Secara bertahap program ini sangat terasa sekali di masyarakat, sehingga Soeharto diangkat menjadi “Bapak Pembangunan”.
Namun sangat ironis sekali bahwa keberhasilan itu tidak merata. Kemajuan itu hanya fatamorgana dan semu. Karena ada kesenjangan “gap” yang sangat dominan antara yang kaya dengan yang miskin. Akhirnya banyak timbul aksi protes dari rakyat, karena dibelakang program itu terjadi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Akan tetapi dengan kekuatan militernya “The Power of Rezim Soeharto by his Military” bisa membungkam teriakan dan jeritan rakyat jelata. sehingga pada puncaknya pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi. Terjadi inflasi yang signifikan. Hal itu menambah penderitaan masyarakat yang tidak bisa membeli harga-harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, pada tanggal 21 Mei 1998, dengan mendasarkan pada pasal 8 UUD 1945, Presiden terpaksa menyerahkan kepemimpinannya kepada wakil Presiden yaitu Prof. Dr. B.J. Habibie
Pada masa Reformasi, rakyat dan bangsa Indonesia mengkhendaki ketenangan, keamanan dan kesejahteraan hidup di bumi persada Indonesia ini. Rakyat tidak mempersoalkan siapa yang menjadi pemimpin negeri ini, yang penting rakyat bisa hidup aman, tenteram, damai, cukup pangan, sandang dan papan. Oleh karena itu, rakyat Indonesia sangat menghendaki pemimpin yang amanah, bertanggung jawab dan peduli terhadap nasib mereka, bangsa dan Negara.
Ternyata harapan itu semua sampai sekarang belum terwujud, bahkan harus dibayar dengan nyawa. Gerakan reformasi 1998 yang dimotori oleh para cendikiawan masa depan menuntut enam tuntutan yaitu: adili soeharto dan kroninya, amandemen UUD 1945, penghapusan dwifungsi ABRI, otonomi daerah, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih dari KKN. Gerakan itu harus berhadapan dengan aparat Negara sehingga pada tanggal 12 Mei 1998, empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Hery Hertanto, Hendriawan Sie dan Hafidhien Royan tewas tertembak oleh peluru aparat tersebut. Setelah kematian mereka pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998 terjadi kerusuhan masal sehingga lebih dari 1000 orang tewas terpanggang si Jago Merah.
Sampai saat ini reformasi ternyata belum berjalan maksimal. Tokoh reformasi pada saat itu seperti Gusdur, Megawati dan Amin Rais belum memberikan kontribusi yang optimal terhadap pembangunan bangsa ini. Bahkan sekarang menjadi lebih kronis di berbagai bidang seperti; politik, supremasi hukum, sosial, pendidikan dan ekonomi. Yang paling akut terjadi KKN di berbagai bidang tersebut bahkan sampai pada aparatur desa. Korupsi menjadi penyakit yang paling parah di negeri ini. Hukum pun bisa dinegosiasi. Banyak kasus hukum yang tidak tuntas pada akhir-akhir ini. Penegak hukum hanya bisa menangkap pelaku kelas Teri tapi tidak bisa menangkap kelas Kakap “The Big Fish”. Oleh karena itu, inilah yang menjadi penyebab Negara ini tidak akan pernah maju dan berkembang, karena Negara hukum pun tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi bukan Negara hukum?
Berbicara masalah demokrasi seharusnya sesuai dengan substansi di dalam demokrasi tersebut yaitu kedaulatan rakyat; dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Akan tetapi yang terjadi adalah demokrasi jual-beli dalam sistem Pemilihan Umum (PEMILU). Para elte memanfaatkan moment tersebut dengan membeli suara kepada masyarakat. Kenapa suara masyarakat bisa dibeli oleh para elit politik? Apakah karena latar belakang pendidikan masyarakat yang minim? Atau  masyarakat sudah tahu bahwa semua calon pemimpin itu akan korupsi? Sehingga beranggapan bahwa merekapun akan mengembalikan modal politik dengan cara korupsi? Hanya para elit dan masyarakat saja yang tahu.
Menurut peneliti Jack Snyder dan Fareed Zakaria mengemukakan kondisi masyarakatt dunia ketiga yang baru masuk demokrasi malah akan terpuruk dan memprihatinkan. Karena para pemimpin hanya bisa memberikan janji politik yang tidak terpenuhi, sehingga konsekuensinya adalah bertambahnya para pengangguran dan kemiskinan bahkan krisis moral.
Demokrasi yang hakiki harus sesuai harapan masyarakat dan cita-cita para pendiri bangsa “the founding Fathers”. Segala dimensi harus direformasi. Tertutama dalam mental sumber daya manusia (SDM) Indonesia itu sendiri. Sekarang mungkin masih terjadi hal-hal yang mengiris hati rakyat di negeri ini, tapi ke depan harus lebih baik lagi, dengan mengembalikan hak rakyat bukan hanya dijadikan alat kekuasaan tapi kekuasaan itu harus ada di tangan rakyat.

C.    Korelasi Puasa dengan Kemerdekaan Demokrasi yang Hakiki
Puasa bisa dijadikan solusi dalam memecahkan permasalahan diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan  Negara. Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa puasa bisa menahan hawa nafsu yang ada di dalam diri manusia. Ketika hawa nafsu sudah bisa dikendalikan maka tidak akan terjadi  yang namanya korupsi, budaya westernisasi, penyalahgunaan kekuasaan, penyimpangan nilai, jual-beli suara, saling menuding dan memfitnah, bermalas-malasan, susah diatur, dan berbagai hal yang bersifat negatif.
 Tidak hanya itu, orang yang berpuasa juga harus mengetahui ilmu puasa tersebut. Tidak hanya dapat mengendalikan hawa nafsu. Tapi pengetahuan tentang rukun puasa, syarat wajib puasa, hal-hal yang membatalkan puasa, sunnah puasa dan sebagainya. Kenapa demikian? Karena agar puasa tersebut tidak hanya dapat menahan makan dan minum saja tapi ridho dan pahala Allah SWT pun bisa diraih.
Momentum Ramadhan bisa dijadikan untuk mengintrospeksi diri agar menjadi lebih baik. Dalam Ramadhan ini semuanya serba spesial, karena setiap permintaan pasti dikabulkan. Oleh karena itu, dalam konteks politik, puasa bisa dijadikan moment untuk memahami kemerdekaan demokrasi yang hakiki. Artinya orang yang berpuasa bisa memahami esensi diri, masyarakat, bangsa dan negaranya. Apalagi memahami demokrasi yang sebenarnya. Praktek yang tidak sehat pada pemilihan umum itu harus ditafakkuri, apakah praktik itu halal atau haram?
Puasa akan memerdekakan diri segala belenggu hawa nafsu dan kemerdekaan demokrasi yang sebenarnya bisa mengembalikan hakikat kedaulatan rakyat ditengah kondisi politik yang hanya mengejar keuntungan dan kekuasaan yang bersifat semu. Oleh karena itu, perubahan  bisa diwujudkan, asalkan kita bisa melihat esensi itu dan menangkap makna sosial di dalamnya.
    Kemerdekaan yang sebenarnya bukan terbebas dari kolonialisme dan imperialisme secara militer “the colonialism by military”, tapi terbebas dari segala apa yang menyerang sebuah Negara dan bangsa dalam media yang lain, seperti ; budaya, teknologi, pemikiran, dan sebagainya. Maka dari itu, semua itu bisa kita kendalikan yaitu salah satunya melalui puasa.
    Insya Allah Negara dan bangsa  Indonesia akan Berjaya, jika para pemimpin dan masyarakatnya dapat melihat substansi bukan simbol dalam memaknai kemerdekaan dan demokrasi agar perubahan itu dapat terwujud.
SELAMAT UNTUK KEMERDEKAAN INDONESIA YANG KE-66, PERUBAHAN ITU SEBUAH KENISCAYAAN
Referensi:
1.    Al-Imam Al’Alim Al-Allamah Syamsudin Abu Abdillah Muhammad, Syekh, Penerjamah Kitab Fahul Qarib: Abu Amar Imron, Terjemahan Fathul Qarib Jilid I (Kudus: Menara Kudus, 1982)
2.    Subagyo, Firman. Menata Partai Politik (Jakarta, Wahana Semesta Intermedia, 2009)
3.    Tim Penyusun, Sejarah Nasional dan Umum, (Surakarta, Tiga Serangkai, 1996)
4.    Tim Penyusun, Sejarah Nasional dan Umum, (Jakarta, Bumi Aksara, 2000)


By  (M.Robi. B. S.Pd.I)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar