Senin, 27 Februari 2012

PENDIDIKAN ABAD 21


A
bad 21 merupakan abad modern. Abad yang penuh tantangan dan ujian. Baik tantangan intelektualitas maupun tantangan spiritualitas. Yang pertama adalah tantangan intelektualitas yaitu semakin berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (IPTEK) atau ICT (information Communication Technology). Dinamisasi itu membuat manusia semakin mudah dalam hidupnya. Baik dalam mengakses informasi maupun kebutuhan – kebutuhan lainnya. Hubungan satu Negara dengan Negara lain di dunia ini tidak ada batasnya. Tinggal mencari di sebuah mesin pencari yang bernama Google. Di sana kita bisa mencari apa yang kita inginkan terutama informasi.
Di samping itu, kemudahan-kemudahan unuk mencari bahan-bahan tugas bagi para pelajar dan mahasiswa semakin cepat dan mudah. Oleh karena itu, dengan tidak ada batasnya di dunia ini dalam mencari informasi lahirlah sebuah istilah “Globalisasi” atau Globalization Era”. Dengan adanya globalisasi ini, maka manusia Indonesia dituntut untuk mampu bersaing secara global. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu “………….memiliki pengetahuan dan keterampilan………”. Salah satu kalimat itu menunjukan adanya pressure dari tujuan pendidikan bahwa manusia Indonesia harus memiliki itu semua jika ingin berkompetitif dengan bangsa lain yang sudah maju.
Tantangan kedua adalah tantangan spiritualitas atau moralitas. Dalam sesuatu hal, baik itu sistem atau regulasi yang dibuat manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Ada dampak positif maupun negatif. Kemajuan IPTEK atau ICT/IT di sisi lain memiliki ekses negatif bagi manusia itu sendiri. Sehingga melahirkan paham-paham baru dalam dinamisasi itu. Yang paling dominan dalam hal ini adalah paham materialisme. Paham ini memiliki ajaran bahwa “Segala sesuatu di dunia ini diukur dengan materi/kebendaan”. Dari situlah timbul paham-paham lain seperti Hedonisme (paham kesenangan sesaat), kapitalisme, liberalisme, komunisme serta isme-isme lainnya. Itulah sebuah tantangan spiritualitas manusia Indonesia khususnya bagi para generasi bangsa di era dlobalisasi ini.
Dalam agama Islam, untuk bisa mengalahkan isme-isme itu harus mengamalkan apa yang diwariskan Nabi Muhammad SAW yaitu Alqur’an dan Hadits.
Rasulullah menjamin kedua sumber pedoman hidup seorang muslim itu. Jaminan itu sesuai hadits Nabi yang berbunyi “Aku tinggalkan untukmu dua perkara, Kamu tidak akan tersesat untuk selamanya, selama kamu berpegang kepada keduanya yaitu Kitabullah (Alqur’an) dan Sunnah Rasul (Al-hadits).” (HR. Imam Malik)
Kedua tantangan di atas itu kita korelasikan dengan dunia pendidkan. Pertanyaannya apakah ada yang salah dengan sistem pendidikan kita? Menurut pakar pendidikan bahwa “Pendidikan itu akan selalu mengalami kemajuan dari tahun ke tahun atau terjadi dinamisasi pendidikan.” Akan tetapi realitanya tidak terjadi demikian. Sistem selalu diubah-ubah dan pada tahap implementasinya belum maksimal. Menurut analisa penulis, adanya suatu ketidakseimbangan dalam pendidkan formal baik SD, SMP dan SMA bahkan pada tahap perguruan tinggi. Ketidakseimbangan itu adalah kurangnya porsi waktu dalam memahami pelajaran agama di sekolah maupun perguruan tinggi. Padahal pendidikan nilai dan moral itu lebih penting dibandingkan dengan ilmu pengetahuan umum itu sendiri. Kenapa demikian? Karena melihat kondisi globalisasi yang semakin maju membuat moral para pelajar dan mahasiswa semakin terdegradasi. Krisis moral ini membuat ekses yang bisa mengancam generasi cerdas dan bermoral atau bahkan akan menjadi skeptis dan pesimistis bila krisis moral dari generasi ini tidak segera diselesaikan.
Semua hal itu pasti menjadi PR besar bagi para aktivis pendidikan atau stake holder  yang terlibat di dalamnya Yaitu (guru, orang tua dan masyarakat). Krisis yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan itu menghasilkan penyimpangan sosial oleh para amir/pemimpin di negeri ini. Timbulnya kasus-kasus korupsi yang mencuat ke ranah publik melalui media massa (cetak maupun elektronik) menjadikan Indonesia sebagai Negara koruptor peringkat pertama  se-Asia (versi Media massa). Kasus pengemplang pajak Gayus Tambunan (28 Miliyar), century Bank (6,7 triliun), kasus pajak di JATIM (300 Milyar), penyuapan Hakim (300 Juta), Markus Anggodo Wijoyo, mafia hutan dan kasus-kasus lain yang masih banyak lagi baik di pusat maupun di daerah. Itu disebabkan oleh beberapa faktor terutama faktor keringnya spritualitas/hati nurani mereka. Mungkin dulu mereka hanya diajarkan untuk mendalami pengetahuan umum saja atau porsi untuk memahami nilai-nilai pendidikan agama hanya sedikit saja. Itulah akibat dari ketidakseimbangan pendidikan yang terjadi.
Pembangunan suatu bangsa tidak hanya lebih memproritaskan pembangunan ekonomi saja (Just Economy Development). Akan tetapi pembangunan Human Resources atau Sumber Daya Manusianya harus lebih diprioritaskan dengan menyeimbangkan pendidikan berbasis nilai-nilai keagamaan yang utuh. Jika sebuah sistem atau regulasinya salah maka outputnya pun salah. Jika benar maka outpunya pun baik dan benar. Logika sederhana itu bila dicermati secara seksama maka terlihat bahwasanya bangsa harus membuat sistem pendidikan yang seimbang. Agar nantinya bisa mencetak generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara IPTEK akan tetapi nilai-nilai spiritualitas pun sama cerdasnya. Karena kejujuran zaman sekarang ini semakin langka. Oleh karena itu harus dimulai dari sekarang bahwa pendidikan yang ideal itu harus diimpementasikan dengan baik dan konsisten. Sehingga ke depan harapan dan cita-cita agung Good Governance (pemerintahan yang jujur dan bersih) bisa tercapai.
         Hemat penulis bahwa pendidikan abad 21 itu harus seimbang antara ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK) serta iman dan takwa (IMTAK) nya. Karena semakin gencarnya penjajahan melalui trend globalisasi ini (food, fund and fashion) adalah harus segera dibentengi dengan adanya kesimbangan pendidikan. Karena fondasi itu terdapat dalam pemahaman dan pengaplikasian nilai-nilai agama. Jika semua itu dilaksanakan dengan baik dalam sistem pendidikan kita. Maka kita bisa lihat apa yang terjadi di kemudian hari.